Salah satu kesenian asli masyarakat Sasak yang populer, baik bagi
masyarakat Sasak sendiri maupun wisatawan, adalah Gendang Beleq. Beleq
dalam bahasa Sasak berarti besar. Atraksi ini disebut Gendang Beleq
karena salah satu alat dalam atraksi ini adalah sebuah gendang yang
berukuran besar.
Menurut cerita, atraksi ini dulu dimainkan pada pesta-pesta
kerajaan. Adapun sumber yang mengatakan bahwa atraksi ini digunakan
untuk menyambut prajurit yang pulang dari medan peperangan ataupun
mengantarkan mereka ke medan perang. Di daerah Lombok Tengah, Gendang
Beleq dimainkan pada saat persemaian benih padi atau padi. Saat upacara
Perang Topat[1]
di Lingsar, Lombok Barat, gendang beleq juga dimainkan. Selain itu,
gendang ini juga dimainkan dalam adat sasak yaitu saat upacara
perkawinan (nyongkolan) dan memotong atau mengikir gigi (ngurisan).
Namun pada saat ini kesenian Gendang Beleq lebih sering digelar pada
saat upacara-upacara perkawinan atau upacara penyambutan tamu.
Tidak pasti sejak kapan Gendang Beleq mulai dimainkan. Pemain
atraksi inipun tidak mengetahui secara pasti. Satu hal yang pasti adalah
Gendang Beleq ada jauh sebelum Islam masuk ke pulau Lombok. Setelah
Islam mulai masuk ke Lombok, kesenian tersebut menjadi lebih berpola dan
banyak mengandung simbol-simbol dari filosofi Islam[2].
Menurut aturan baku dari atraksi ini, Gendang Beleq dimainkan 17
orang. Angka ini sesuai dengan jumlah rakaat dalam salat wajib lima
waktu. Dua buah gendang beleq (besar) yang dipakai mempunyai arti
bahwa manusia diciptakan berpasangan, pria dan wanita. Gendang ini
berukuran panjang 1,1 meter dan diameter 45 centimeter. Adapun ukuran
gendang yang lebih kecil, yaitu dengan panjang 1,05 meter dan diameter
50 centimeter.
Sedangkan sebuah petuk tari berarti keputusan yang berasal dari hati manusia. Empat buah reong bermakna pertimbangan hati manusia terhadap sesuatu yang belum diputuskan. Sebuah gong oncer (gong yang menentukan tempo) bermakna perlunya ketetapan hati. Lima pasang ceng-ceng memiliki makna kewajiban salat lima waktu. Sebuah petuk penyelak berarti penuntun apabila terjadi ketidakharmonisan. Sedangkan suling berarti petunjuk yang harus diikuti.
Gendang beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk. Komposisi
waktu berjalan mempunyai aturan tertentu, berbeda dengan duduk yang
tidak mempunyai aturan. Pada waktu dimainkan pembawa gendang beleq akan
memainkannya sambil menari, demikian juga pembawa petuk, copek dan lelontok.
Formasi diatas tidak selalu harus diikuti. Peraturan atraksi ini
sangat fleksibel. Seiring perkembangannya, formasi ini sering diubah
namun tidak menghilangkan esensi dasar dari kesenian tersebut. Menurut
catatan pemerintah setempat, saat ini ada sekitar 125 grup gendang beleq
di seluruh pulau Lombok.
Dalam memainkannya Gendang Beleq hanya memakai empat nada pokok.
Karena adanya pengaruh berbagai warna musik, seperti Bali dan musik
modern, titi laras Gendang Beleq mengikuti pelog tujuh.
Notasi gendang beleq hampir sama dengan notasi do-re-mi-fa-sol-la-si-do
pada notasi diatonis (12 nada). Namun, pada nada re dan la terdapat
sedikit perbedaan nada. Pengucapannya yaitu
dang-daing-ding-dong-deng-deung-dung. Memang beberapa diantaranya ada
kesamaan dengan pengucapan titi laras gamelan Bali, namun ada perbedaan di cara memainkan alat dan urutan dari nada yang dihasilkan oleh alat musik tersebut.
Sekitar akhir Maret 2005 lalu, Museum Rekor Indonesia mencatat
rekor nasional yaitu pagelaran atraksi Gendang Beleq dengan pemain
terbanyak. Jumlah pemain dalam pemecahan rekor adalah 330 pemain gendang
besar, 556 pemain reong (gong kecil), 2.474 pemain ceng-ceng (semacam
simbal), 117 pemain rincik (simbal kecil), 89 pemain petuk, 468 pemain
gong, dan 147 pemain suling.
Selain bertujuan untuk memecahkan rekor MURI, pagelaran kolosal ini
memiliki maksud untuk melestarikan kesenian-kesenian asli daerah Lombok
khususnya kesenian Gendang Beleq. Karena kesenian-kesenian khas suku
Sasak sering dipinggirkan pada saat-saat ini.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan karena justru masyarakat
mancanegara yang sangat mengagumi kesenian ini. Bahkan beberapanya
menulis desertasi tentang beberapa kesenian khas Sasak. Karya mereka
bisa dibilang cukup komprehensif. Sedangkan kebanyakan masyarakat
sendiri bahkan cenderung melupakan keunikan dari kesenian mereka
sendiri.
Dengan adanya objek wisata, otomatis banyak budaya asing yang masuk
ke Lombok. Ini karena banyaknya wisatawan asing yang mengunjungi objek
wisata tersebut dan berbaur dengan para penduduk lokal. Tidak sedikit
dampak negatif yang dibawa oleh budaya asing tersebut. Salah satunya
adalah pengkonsumsian minuman beralkohol dan juga narkoba.
Budaya asing itu tidak hanya mempengaruhi penduduk lokal saja,
tetapi juga mengganggu kesenian lokal yang ada. Sebut saja kecimol.
Kesenian mengiring pengantin ini identik dengan mabuk-mabukan dan minum
minuman keras. Sebenarnya esensi dasar dari kesenian ini tidak
disebutkan harus dilakukan dengan cara mengkonsumsi minuman keras. Ini
kemudian mempengaruhi kesenian yang lain yang kemudian diidentikkan
dengan hal-hal serupa.
Gendang Beleq sebagai salah satu kesenian yang populer dapat
memulihkan citra miring yang ditimbulkan tersebut. Dengan menggelar
pertunjukan yang ditujukan untuk mayarakat lokal, khususnya remaja,
kesenian ini digelar dengan menyertakan pesan moral tentang bahaya
minuman beralkohol dan narkoba.
Pegelaran Gendang Beleq yang kolosal dengan penataan panggung yang
spektakuler dapat menarik para penduduk lokal Lombok yang haus akan
hiburan. Penataan panggung yang spektakuler layaknya pementasan sebuah
band terkenal akan mengundang para remaja untuk ikut menyaksikan
pertunjukan ini. Penataan panggung yang menarik ini sangat dibutuhkan
karena remaja tidak akan tertarik untuk menyaksikan pertunjukan jika setting panggungnya terlalu biasa.
Para sekehe[3] melantunkan tiga buah lagu daerah yaitu Gending Oncer, Kencili dan Kepundung[4].
Lagu Gending Oncer yang dilantunkan dibarengi dengan pentas teater
singkat tentang kehidupan seorang pemuda yang terengut akibat
mengkonsumsi narkoba dan minuman keras. Pemeran pemuda tersebut
diperankan oleh seorang mantan pengguna narkoba sehingga peran dapat
lebih dihayati. Dialog dalam pementasan teater tersebut menggunakan
bahasa Sasak, sehingga menjaga kedekatan dengan para penonton. Tetapi
disela-sela dialog, ada seorang narator yang menarasikan pemantasan
dengan bahasa Indonesia. Sehingga beberapa penonton yang kurang mengerti
bahasa Sasak dapat ikut mengerti maksud dari pementasan tersebut.
Dan ketika lagu Kencili dan Kepundung dimainkan, seorang tokoh
masyarakat dan Gubernur Nusa Tenggara Barat sendirilah yang mengalunkan
pantunnya. Tokoh masyarakat tersebut membacakan pantun dengan bahasa
Sasak sedangkan sang Gubernur membacakan terjemahannya dengan bahasa
Indonesia. Para pelantun pantun menggunakan pakaian khas Lombok. Ini
bertujuan untuk melestarikan budaya asli daerah dan juga mengenalkannya
kepada para penonton yang belum mengenal pakain khas Lombok. Pemilihan
tokoh masyarakat dan Kepala Daerah sebagai pelantun pantun adalah agar
pesan lebih mengena karena mereka adalah opinion leader di daerah
ini. Ini karena opinion leader tidak lepas dari kehidupan sosial
masyarakat dan dapat ikut menentukan pola pikir dari masyarakat itu
sendiri[5].
Dengan pemilihan format seperti setting panggung yang menarik,
pemilihan kesenian Gendang Beleq sebagai media penyampaian pesan sampai
melibatkan opinion leader yang tepat, diharapkan pesan tentang bahaya
narkoba dan minuman keras dapat tersampaikan dengan baik kepada
masyarakat pulau Lombok khususnya (iwo)
[1]
Perang topat adalah tradisi saling melempar topat atau ketupat oleh
masyarakat di daerah Lingsar. Walaupun terkesan seperti sebuah perang,
tradisi ini adalah simbol kerukunan antar umat beragama khususnya
masyarakat Sasak (yang mayoritas beragama Islam) dan masyarakat Bali
(yang menganut agama Hindu). Topat yang sudah hancur karena dipakai
untuk ”berperang” dibawa pulang oleh para warga. Bukan untuk dimakan
melainkan untuk sebarkan ke sawah mereka. Konon topat tersebut dapat
memberi kesuburan pada sawah mereka.
[3] Sekehe adalah sebutan bagi penabuh gendang beleq.
[4]
Gending Oncer adalah gending yang diilhami dari keindahan gerakan ikan
pepait (sejenis ikan kecil) yang hidup di pulau Lombok. Sedangkan lagu
Kencili dan Kepundung adalah pantun yang isinya tergantung dengan acara
yang berlangsung. Bisa berupa pesan cinta, pesan agama, berpantun untuk
tanaman, atau pengantin
[5] Lih. Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal 174