Selasa, 09 Desember 2014

Gendang Beleq sebagai Media Komunikasi Masyarakat Sasak

Salah satu kesenian asli masyarakat Sasak yang populer, baik bagi masyarakat Sasak sendiri maupun wisatawan, adalah Gendang Beleq. Beleq dalam bahasa Sasak berarti besar. Atraksi ini disebut Gendang Beleq karena salah satu alat dalam atraksi ini adalah sebuah gendang yang berukuran besar.
Menurut cerita, atraksi ini dulu dimainkan pada pesta-pesta kerajaan. Adapun sumber yang mengatakan bahwa atraksi ini digunakan untuk menyambut prajurit yang pulang dari medan peperangan ataupun mengantarkan mereka ke medan perang. Di daerah Lombok Tengah, Gendang Beleq dimainkan pada saat persemaian benih padi atau padi. Saat upacara Perang Topat[1] di Lingsar, Lombok Barat, gendang beleq juga dimainkan. Selain itu, gendang ini juga dimainkan dalam adat sasak yaitu saat upacara perkawinan (nyongkolan) dan memotong atau mengikir gigi (ngurisan). Namun pada saat ini kesenian Gendang Beleq lebih sering digelar pada saat upacara-upacara perkawinan atau upacara penyambutan tamu.
Tidak pasti sejak kapan Gendang Beleq mulai dimainkan. Pemain atraksi inipun tidak mengetahui secara pasti. Satu hal yang pasti adalah Gendang Beleq ada jauh sebelum Islam masuk ke pulau Lombok. Setelah Islam mulai masuk ke Lombok, kesenian tersebut menjadi lebih berpola dan banyak mengandung simbol-simbol dari filosofi Islam[2].
Menurut aturan baku dari atraksi ini, Gendang Beleq dimainkan 17 orang. Angka ini sesuai dengan jumlah rakaat dalam salat wajib lima waktu. Dua buah gendang beleq (besar) yang dipakai mempunyai arti bahwa manusia diciptakan berpasangan, pria dan wanita. Gendang ini berukuran panjang 1,1 meter dan diameter 45 centimeter. Adapun ukuran gendang yang lebih kecil, yaitu dengan panjang 1,05 meter dan diameter 50 centimeter.
Sedangkan sebuah petuk tari berarti keputusan yang berasal dari hati manusia. Empat buah reong bermakna pertimbangan hati manusia terhadap sesuatu yang belum diputuskan. Sebuah gong oncer (gong yang menentukan tempo) bermakna perlunya ketetapan hati. Lima pasang ceng-ceng memiliki makna kewajiban salat lima waktu. Sebuah petuk penyelak berarti penuntun apabila terjadi ketidakharmonisan. Sedangkan suling berarti petunjuk yang harus diikuti.
Gendang beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk. Komposisi waktu berjalan mempunyai aturan tertentu, berbeda dengan duduk yang tidak mempunyai aturan. Pada waktu dimainkan pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil menari, demikian juga pembawa petuk, copek dan lelontok.
Formasi diatas tidak selalu harus diikuti. Peraturan atraksi ini sangat fleksibel. Seiring perkembangannya, formasi ini sering diubah namun tidak menghilangkan esensi dasar dari kesenian tersebut. Menurut catatan pemerintah setempat, saat ini ada sekitar 125 grup gendang beleq di seluruh pulau Lombok.
Dalam memainkannya Gendang Beleq hanya memakai empat nada pokok. Karena adanya pengaruh berbagai warna musik, seperti Bali dan musik modern, titi laras Gendang Beleq mengikuti pelog tujuh. Notasi gendang beleq hampir sama dengan notasi do-re-mi-fa-sol-la-si-do pada notasi diatonis (12 nada). Namun, pada nada re dan la terdapat sedikit perbedaan nada. Pengucapannya yaitu dang-daing-ding-dong-deng-deung-dung. Memang beberapa diantaranya ada kesamaan dengan pengucapan titi laras gamelan Bali, namun ada perbedaan di cara memainkan alat dan urutan dari nada yang dihasilkan oleh alat musik tersebut.
Sekitar akhir Maret 2005 lalu, Museum Rekor Indonesia mencatat rekor nasional yaitu pagelaran atraksi Gendang Beleq dengan pemain terbanyak. Jumlah pemain dalam pemecahan rekor adalah 330 pemain gendang besar, 556 pemain reong (gong kecil), 2.474 pemain ceng-ceng (semacam simbal), 117 pemain rincik (simbal kecil), 89 pemain petuk, 468 pemain gong, dan 147 pemain suling.
Selain bertujuan untuk memecahkan rekor MURI, pagelaran kolosal ini memiliki maksud untuk melestarikan kesenian-kesenian asli daerah Lombok khususnya kesenian Gendang Beleq. Karena kesenian-kesenian khas suku Sasak sering dipinggirkan pada saat-saat ini.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan karena justru masyarakat mancanegara yang sangat mengagumi kesenian ini. Bahkan beberapanya menulis desertasi tentang beberapa kesenian khas Sasak. Karya mereka bisa dibilang cukup komprehensif. Sedangkan kebanyakan masyarakat sendiri bahkan cenderung melupakan keunikan dari kesenian mereka sendiri.
Dengan adanya objek wisata, otomatis banyak budaya asing yang masuk ke Lombok. Ini karena banyaknya wisatawan asing yang mengunjungi objek wisata tersebut dan berbaur dengan para penduduk lokal. Tidak sedikit dampak negatif yang dibawa oleh budaya asing tersebut. Salah satunya adalah pengkonsumsian minuman beralkohol dan juga narkoba.
Budaya asing itu tidak hanya mempengaruhi penduduk lokal saja, tetapi juga mengganggu kesenian lokal yang ada. Sebut saja kecimol. Kesenian mengiring pengantin ini identik dengan mabuk-mabukan dan minum minuman keras. Sebenarnya esensi dasar dari kesenian ini tidak disebutkan harus dilakukan dengan cara mengkonsumsi minuman keras. Ini kemudian mempengaruhi kesenian yang lain yang kemudian diidentikkan dengan hal-hal serupa.
Gendang Beleq sebagai salah satu kesenian yang populer dapat memulihkan citra miring yang ditimbulkan tersebut. Dengan menggelar pertunjukan yang ditujukan untuk mayarakat lokal, khususnya remaja, kesenian ini digelar dengan menyertakan pesan moral tentang bahaya minuman beralkohol dan narkoba.
Pegelaran Gendang Beleq yang kolosal dengan penataan panggung yang spektakuler dapat menarik para penduduk lokal Lombok yang haus akan hiburan. Penataan panggung yang spektakuler layaknya pementasan sebuah band terkenal akan mengundang para remaja untuk ikut menyaksikan pertunjukan ini. Penataan panggung yang menarik ini sangat dibutuhkan karena remaja tidak akan tertarik untuk menyaksikan pertunjukan jika setting panggungnya terlalu biasa.
Para sekehe[3] melantunkan tiga buah lagu daerah yaitu Gending Oncer, Kencili dan Kepundung[4]. Lagu Gending Oncer yang dilantunkan dibarengi dengan pentas teater singkat tentang kehidupan seorang pemuda yang terengut akibat mengkonsumsi narkoba dan minuman keras. Pemeran pemuda tersebut diperankan oleh seorang mantan pengguna narkoba sehingga peran dapat lebih dihayati. Dialog dalam pementasan teater tersebut menggunakan bahasa Sasak, sehingga menjaga kedekatan dengan para penonton. Tetapi disela-sela dialog, ada seorang narator yang menarasikan pemantasan dengan bahasa Indonesia. Sehingga beberapa penonton yang kurang mengerti bahasa Sasak dapat ikut mengerti maksud dari pementasan tersebut.
Dan ketika lagu Kencili dan Kepundung dimainkan, seorang tokoh masyarakat dan Gubernur Nusa Tenggara Barat sendirilah yang mengalunkan pantunnya. Tokoh masyarakat tersebut membacakan pantun dengan bahasa Sasak sedangkan  sang Gubernur membacakan terjemahannya dengan bahasa Indonesia. Para pelantun pantun menggunakan pakaian khas Lombok. Ini bertujuan untuk melestarikan budaya asli daerah dan juga mengenalkannya kepada para penonton yang belum mengenal pakain khas Lombok. Pemilihan tokoh masyarakat dan Kepala Daerah sebagai pelantun pantun adalah agar pesan lebih mengena karena mereka adalah opinion leader di daerah ini. Ini karena opinion leader tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat dan dapat ikut menentukan pola pikir dari masyarakat itu sendiri[5].
Dengan pemilihan format seperti setting panggung yang menarik, pemilihan kesenian Gendang Beleq sebagai media penyampaian pesan sampai melibatkan opinion leader yang tepat, diharapkan pesan tentang bahaya narkoba dan minuman keras dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat pulau Lombok khususnya (iwo)

[1] Perang topat adalah tradisi saling melempar topat atau ketupat oleh masyarakat di daerah Lingsar. Walaupun terkesan seperti sebuah perang, tradisi ini adalah simbol kerukunan antar umat beragama khususnya masyarakat Sasak (yang mayoritas beragama Islam) dan masyarakat Bali (yang menganut agama Hindu). Topat yang sudah hancur karena dipakai untuk ”berperang” dibawa pulang oleh para warga. Bukan untuk dimakan melainkan untuk sebarkan ke sawah mereka. Konon topat tersebut dapat memberi kesuburan pada sawah mereka.
[3] Sekehe adalah sebutan bagi penabuh gendang beleq.
[4] Gending Oncer adalah gending yang diilhami dari keindahan gerakan ikan pepait (sejenis ikan kecil) yang hidup di pulau Lombok. Sedangkan lagu Kencili dan Kepundung adalah pantun yang isinya tergantung dengan acara yang berlangsung. Bisa berupa pesan cinta, pesan agama, berpantun untuk tanaman, atau pengantin
[5] Lih. Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal 174